PENGAMEN ITU,PAHLAWAN KECILKU
Malam itu, aku masih terpaku didepan laptopku dengan buku tebal yang bertebaran dikasur. Kamarku terlihat sangat berantakan, kamar kecil yang selama ini aku sewa selama aku merantau diJakarta. Malam ini aku berniat membenahi skripsiku yang selama ini tertunda. Waktu menunjukan pukul 02.00 WIB. Dengan mata sayu dan tubuh yang mulai kelelahan, aku merebahkan tubuhku ditempat tidur. Saat itu aku mencoba mengistirahatkan diri sejenak. Belum lama mataku terpejam, handphoneku berbunyi nyaring “ah siapa yang menelpon malam-malam begini” batinku kesal. Akupun segera mengambilnya. Ternyata
adikku Mia yang menelpon dari Sukabumi. Dengan perasaan bingung aku segera mengangkatnya.
“hallo kak ?” Mia memanggil dengan suara terisak
“iya, ada apa Mia ? kenapa telpon malam-malam begini ?” tanyaku khawatir.
“ka anton dirawat dirumah sakit, dia kecelakaan “ jawab Mia sedih.
“kecelakaan ? bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku kaget.
“keadaannya mulai membaik, tetapi biaya rumah sakitnya masih menunggak uang simpanan ibu sudah habis untuk biaya masuk rumah sakit kak ” Mia menjawab pelan sambil terisak.
“ibu dimana sekarang? tenang Mia,nanti akan kakak carikan uang untuk melunasinya” jawabku halus.
“ada kak,sepertinya ibu tertidur saat menemani ka Anton.Oke terimakasih ya ka” isakkan Mia tampak sedikit reda.
“iya sayang” aku menutup telpon pelan sambil menahan mata yang sangat mengantuk.
Memang selama ini aku dan ka Anton lah yang menjadi tulang punggung keluarga, menggantikan ayah yang telah lebih dulu dipanggil yang maha kuasa. Dan hanya akulah yang memutuskan untuk merantau diJakarta kuliah sambil bekerja disini.
Suara alarm berbunyi keras dan membangunkan tidurku. Tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul 09.00 pagi. Dengan masih bermalas-malasan aku beranjak mandi dan menyiapkan diri untuk kuliah. Rasa malas sering menghampiriku dengan semua rutinitas padat ini. Sepulang kuliah nanti aku harus bekerja dikantor, aku berniat akan meminjam uang kepada bosku untuk membayar segera tunggakan rumah sakit ka Anton.
Malam itu, aku masih sibuk dengan urusan kantor. Karena mendapat pinjaman uang dari bos, mau tak mau aku harus bekerja lebih giat lagi sampai terpaksa mengambil jam lembur. Aku biasanya malas sekali lembur , apalagi sampai larut malam begini. Waktu sudah menunjukan pukul 01.00 malam. Dengan badan yang kelelahan aku keluar kantor dan mencari taksi untuk segera pulang kerumah. Sambil mencari taksi , mataku menjelajah ke segala penjuru ibu kota. Suasana malam kota Jakarta memang memprihatinkan, berbeda jauh dengan di kampong halamanku.
Tiba-tiba suara gitar kecil memecah lamunanku.Seorang pengamen kecil dengan pakaian lusuh dan rambutnya yang sangat pendek. Perempuan kecil ini sepintas terlihat seperti laki-laki karena gayanya yang mirip laki-laki. Akupun segera mencari uang receh di sakuku ‘ah tidak ada’ batinku dalam hati akhirnya aku mencari uang kecil di tasku, namun yang ada hanya uang lima puluh ribuan. Aku langsung memberikannya pada pengamen kecil itu. Dengan wajah yang kebingungan pengamen kecil itu bertanya
“hah? Segini mba ?” tanyanya dengan wajah polos.
“ambil saja itu untukmu” jawabku.
Dengan wajah yang bahagia dan senyumnya yang lebar dia berkata
“makasih ya mba”.
Akupun hanya membalasnya dengan senyum seraya memberhentikan taksi yang kebetulan lewat. Pengamen kecil itu melambaikan tangannya kearahku sambil tersenyum lebar.
Saat itu juga aku berniat segera mentransfer uangku untuk membayar uang tunggakan rumah sakit ka Anton. Aku pun memberhentikan taksi dan pergi ke ATM yang masih buka. Baru saja keluar dari taksi,tiba-tiba ada perampok yang menodongkan pisau kearahku sambil menarik tasku. Perampok itu langsung berlari setelah berhasil mengambil tas dari tanganku. Belum sempat aku berteriak, pengamen kecil tadi langsung mengejar perampok itu dan merebut tasku tanpa rasa takut. Dan.. “srekk” pisaupun menggores tangan pengamen kecil itu. “arghh!!” geramnya menahan sakit. Dengan tangan yang penuh darah, pengamen itu masih berusaha mengambil tasku dari tangan perampok. Dan untungnya, polisi segera datang menangkap perampok itu. Ternyata supir taksi yang aku naiki tadi telah menghubungi polisi. Dengan wajah miris,aku langsung membawa anak itu ke Rumah Sakit terdekat dan mengantarkannya pulang kerumah.
Karena malam yang sudah sangat larut, akupun menginap dirumah pengamen kecil itu. Dengan luka ditangannya,pengamen itu masih bias tertidur pulas dikamar kecilnya. Kamar yang lebih kecil dari kamar kos ku. Biarpun begitu kamar ini lebih nyaman dan jauh lebih rapih dari kamarku. Belum sempat tertidur,aku tertarik dengan deretan piala diatas meja . Piala-piala itu terpajang sangat rapih, rupanya pengamen kecil ini adalah anak yang cukup berprestasi dilihat dari deretan pialanya yang umunya juara lomba maupun prestasi terbaik disekolahnya.
Dengan teliti aku melihat foto-foto yng terpajang didinding semua foto-foto itu adalah foto para pahlawan Indonesia kecuali satu foto yang tidak aku kenal,dan difoto itu tertulis kakekku adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Akupun terkesan melihatnya. Tanpa sengaja aku membaca secarik kertas yang tertempel dimeja belajarnya pahlawan saat ini bukan pahlawan yang melawan penjajah tapi pahlawan yang melawan kemalasan. Tampaknya kalimat ini merupakan kalimat penyemangat belajarnya. Disamping meja belajarnya aku melihat tumpukan koran terbitan kemarin dan tampaknya pengamen kecil ini juga merupakan penjual koran. Saat aku melihat-lihat Koran tersebut, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamar dan ternyata itu adalah ibu pengamen kecil tadi. Sambil membawa secangkir teh untukku ibu itu seraya berkata
“Nessa setiap pagi menjual koran siangnya dia sekolah dan sepulang seklah dia mengamen sampai larut malam” ibunya tersenyum sambil mengelus lembut rambut anaknya yang sedang tertidur.
“Nessa anak yang baik bu, dia pahlawan kecil bagiku” jawabku sambil tersenyum lembut.
“Dulu Nessa dan almarhum kakeknya sangat lah dekat, kakeknya mengajarkan banyak hal kepadanya dan sepertinya menurunkan sikap pemberaninya pada Nessa” cerita ibunya sambil tersenyum bangga.
“Prestasi nessa juga sepertinya sangat membanggakan bu” kataku sambil melihat lagi piala-piala tersebut.
“dan mungkin itu diturunkan juga dari almarhum ayahnya” jawab ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Aku diam dan ibu itu pun melanjutkan lagi.
“ayah Nessa meninggal saat menolong seorang anak yang dirampas dari ibunya ditengah jalan,perutnya tertusuk pisau hingga tewas ditempat” jawab ibunya dengan mata sedikit berlinang.
Akupun memeluk ibu itu tanpa berkata apa-apa aku bingung sekaligus iba terhadap keluarga ini. Akhirnya ibu itu menyuruhku tidur dan ia segera keluar menutup kamar. Sebelum menutup pintu, ibu itu tersenyum hangat padaku.
Pagi harinya aku langsung pamit kepada Nessa dan ibunya untuk kembali bekerja dan mengirimkan uang untuk biaya rumah sakit ka Anton. Sejak kejadian tersebut setiap minggunya aku mengunjungi rumah Nessa . Aku sudah menganggap Nessa dan ibunya sebagai adikku sendiri seperti Mia dan Ibuku. Bagiku pengalaman saat itu merupakan pengalaman yang amat berharga. Bahkan, aku merasa malu karena rasa malasku yang besar. Pengamen kecil itu memang sudah menjadi pahlawan kecil buatku. Biarpun sebelumnya aku menganggapnya remeh,ternyata dia adalah orang yang menjadi salah satu penyemangat ku saat ini. Akupun lebih giat bekerja dan menyelesaikan skripsiku agar cepat memperoleh gelar sarjanaku. nanti saat aku sudah benar-benar sukses,aku berjanji pada diriku sendiri akan meneruskan membiayai sekolah Mia dan Nessa sampai keperguruan tinggi dan sukses kelak nanti. Nessa, semangatnya dan keberaniannya lah yang membuatku kagum.
“Pengamen itu , Pahlawan kecilku” (laksmita rahma dhea)
The end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar